China Masih Tutup Suara Terkait Pembicaraan Tarif dengan AS

Sahrul

Sikap China masih tertutup terhadap kemungkinan menggelar pembicaraan mengenai tarif dagang dengan Amerika Serikat, setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif seragam dan tarif timbal balik yang dikenakan terhadap banyak negara, termasuk China.

Dalam konferensi pers di Beijing pada Senin (7/4), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, tidak memberikan konfirmasi apa pun ketika ditanya soal peluang negosiasi dengan Washington.
“Kami telah menekankan lebih dari sekali bahwa menekan atau mengancam China bukanlah cara yang tepat untuk terlibat dengan kami. China akan dengan tegas melindungi hak dan kepentingannya yang sah,” tegas Lin Jian.

Sebelumnya, Trump pada Rabu (2/4) mengungkapkan kebijakan ekonomi terbarunya berupa tarif global sebesar 10 persen untuk seluruh barang impor ke AS, serta tarif tambahan antara 11 hingga 50 persen yang diterapkan secara selektif terhadap negara-negara yang dinilai memiliki ketidakseimbangan perdagangan terbesar dengan Negeri Paman Sam. Produk-produk asal China termasuk dalam kebijakan ini dengan beban tarif sebesar 34 persen.

Menanggapi kebijakan tersebut, Menteri Keuangan AS Scott Bessent menyatakan bahwa lebih dari 50 negara telah menjalin komunikasi untuk memulai negosiasi dagang baru dengan AS. Di sisi lain, Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menyebut bahwa Argentina, Vietnam, dan Israel telah menunjukkan komitmen untuk menurunkan hambatan perdagangan mereka terhadap AS.

Namun, dari pihak Beijing, kritik tajam tetap disuarakan.
“Pemerintah China telah menyatakan posisinya terhadap penyalahgunaan tarif AS. Kenaikan tarif AS terhadap semua mitra dagang, termasuk China, dengan berbagai dalih telah secara serius melanggar hak dan kepentingan sah negara-negara, melanggar aturan WTO, merusak sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan, dan mengganggu stabilitas tatanan ekonomi global,” ujar Lin Jian.

Ia menegaskan bahwa otoritas China sangat menyayangkan dan secara tegas menolak kebijakan tersebut.
“Apa yang telah dilakukan AS merupakan langkah khas unilateralisme, proteksionisme, dan intimidasi ekonomi. Hal ini akan merugikan AS sendiri dan juga negara-negara lain,” lanjutnya.

Lin Jian menggambarkan kebijakan tarif AS sebagai tindakan hegemonik yang dibalut dengan dalih “timbal balik”, tetapi sejatinya hanya menguntungkan satu pihak dengan mengorbankan hak negara lain.
“Penyalahgunaan tarif AS merampas hak negara-negara, terutama negara-negara ‘Global South’, untuk membangun. Analisis data WTO menyebut kenaikan tarif AS akan semakin memperlebar kesenjangan kekayaan antarnegara dan negara-negara miskin akan merasakan pukulan yang lebih berat,” kata Lin.

Ia juga menyatakan bahwa pendekatan tersebut bertentangan dengan prinsip nondiskriminasi dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), merusak rantai pasok global, dan membahayakan stabilitas ekonomi internasional.
“Pembangunan adalah hak universal semua negara, bukan hak istimewa eksklusif beberapa negara. Negara-negara perlu bersama-sama menentang unilateralisme dan proteksionisme dalam segala bentuk, menjaga tatanan internasional dengan PBB sebagai intinya, dan menegakkan sistem perdagangan multilateral dengan WTO sebagai pusatnya,” tandasnya.

Beijing juga mendesak agar AS menyediakan ekosistem bisnis yang sehat, jujur, dan bebas diskriminasi bagi perusahaan-perusahaan asal China di wilayahnya.

Berdasarkan kebijakan yang diumumkan, tarif universal sebesar 10 persen akan diberlakukan mulai Sabtu (12/4), sedangkan tarif timbal balik hingga 50 persen diterapkan pada Rabu (9/4). Kebijakan Trump ini telah berdampak negatif pada pasar keuangan AS, yang tercatat kehilangan nilai hampir 6 triliun dolar AS dalam sepekan terakhir.

Sebagai aksi balasan, China melalui Komite Tarif Dewan Negara menetapkan tarif tambahan sebesar 34 persen untuk berbagai barang dari AS, efektif mulai Kamis (10/4). Tak berhenti di situ, Kementerian Perdagangan China juga memasukkan 11 perusahaan asal AS ke dalam daftar hitam yang disebut “entitas yang tidak dapat diandalkan”, melarang mereka untuk melakukan kerja sama bisnis dengan entitas di China.

Langkah-langkah lanjutan juga mencakup pemberlakuan sistem perizinan ekspor untuk tujuh jenis unsur tanah jarang, komponen penting dalam produksi kendaraan listrik dan elektronik yang sebagian besar bersumber dari China. Selain itu, pemerintah juga menambah 27 perusahaan ke dalam daftar yang dikenai pembatasan perdagangan serta memulai investigasi antimonopoli terhadap anak usaha Amerika Serikat.

Sementara itu, otoritas Bea Cukai China memutuskan untuk menghentikan impor ayam dari lima eksportir pertanian utama AS serta menghentikan impor sorgum.

Sebagai informasi, China merupakan mitra dagang terbesar kedua bagi AS setelah Meksiko, serta menjadi pasar ekspor ketiga terbesar setelah Kanada dan Meksiko. Dalam catatan terakhir, ekspor China ke AS mencapai angka 426,9 miliar dolar AS yang mencakup produk seperti smartphone, furnitur, dan mainan. Di sisi lain, China juga mengimpor barang-barang dari AS, termasuk chip semikonduktor, energi fosil, produk pertanian, dan lainnya senilai 147,8 miliar dolar AS.

Also Read

Tags

Leave a Comment