Menurut laporan terkini dari Statistik Pernikahan dan Perceraian 2022 yang dirilis oleh Departemen Statistik, rata-rata usia seseorang melangsungkan pernikahan untuk pertama kalinya mengalami kenaikan dalam satu dekade terakhir.
Pada tahun 2022, perempuan cenderung menikah di usia 29,3 tahun, sementara pria melangkah ke jenjang pernikahan pertama mereka pada usia 30,7 tahun.
Sebagai perbandingan, satu dekade sebelumnya, perempuan menikah pada rata-rata usia 28 tahun dan pria di angka 30,1 tahun.
Berdasarkan data yang dikutip dari Bloomberg Technoz, tren ini terus berlanjut pada 2023.
Usia rata-rata pria yang menikah untuk pertama kali meningkat menjadi 31 tahun, sementara perempuan mencapai 29,5 tahun.
Jika dibandingkan dengan data dari sepuluh tahun sebelumnya, terdapat lonjakan dari 30,2 tahun bagi pria dan 28,1 tahun untuk perempuan.
Di sisi lain, faktor kesuburan turut menjadi pertimbangan utama bagi pasangan yang menikah di usia yang lebih matang.
Berdasarkan data dari Mount Elizabeth Fertility Centre, tingkat keberhasilan kehamilan masih tergolong tinggi untuk perempuan di bawah usia 30 tahun dengan persentase 77 persen.
Namun, peluang ini menurun menjadi 57 persen pada rentang usia 30 hingga 39 tahun, dan hanya mencapai 39 persen bagi mereka yang berusia 40 tahun ke atas.
Faktor inilah yang mendorong banyak pasangan untuk mempertimbangkan program bayi tabung (IVF), terutama bagi mereka yang merencanakan kehamilan di usia yang lebih lanjut.
Menyikapi perubahan ini, Menteri Kesehatan Ong Ye Kung menyatakan bahwa Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH) serta Rumah Sakit Umum Singapura (SGH) berupaya meningkatkan kapasitas layanan teknologi reproduksi berbantu (ART) dalam beberapa tahun ke depan.
Sejalan dengan inisiatif tersebut, Profesor Wong dari Rumah Sakit Universitas Nasional (NUH) mengungkapkan bahwa kapasitas layanan IVF di rumah sakitnya meningkat sekitar sepertiga setelah dilakukan renovasi pada tahun 2022.
Pembaruan ini termasuk peningkatan kapasitas penyimpanan sel telur dan embrio beku guna memenuhi kebutuhan pasangan yang mengandalkan metode ART.
Tak hanya NUH, SGH juga mengambil langkah serupa.
Associate Professor Yong Tze Tein, selaku Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi SGH, menuturkan bahwa persoalan kesulitan memiliki keturunan kini bukan lagi hal yang tabu di masyarakat.
“Banyak pasangan semakin terbuka untuk mencari solusi medis guna mendapatkan momongan. Sementara sebagian besar pasien memiliki waktu tunggu rata-rata dua minggu untuk konsultasi pertama mereka dengan dokter,” kata Prof Yong.
Sebagai bagian dari upaya peningkatan kapasitas layanan, SGH berencana memindahkan Pusat Reproduksi Berbantuannya ke lokasi baru di dalam kompleks rumah sakit pada tahun 2027.
Relokasi ini bertujuan untuk menyediakan lebih banyak ruang konsultasi, ruang operasi yang lebih luas, serta laboratorium dengan kapasitas inkubator yang lebih besar.
Dengan langkah ini, diharapkan layanan ART dapat lebih optimal dalam membantu pasangan yang mendambakan buah hati.