Tingginya angka penderita penyakit ginjal di Indonesia mendapat sorotan dari dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, I Wayan Nariata. Ia menekankan bahwa minimnya pemahaman masyarakat serta belum optimalnya kebijakan pemerintah turut memperburuk situasi ini.
Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui siaran Kementerian Kesehatan pada Selasa (XX/XX), Wayan menjelaskan bahwa rendahnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ginjal, cara mengenali tanda-tandanya, serta metode pemeriksaan dini menyebabkan banyak pasien datang ke fasilitas kesehatan saat kondisi mereka sudah dalam tahap serius.
“Yang kedua dari sisi kita sebagai provider pelayanan kesehatan semakin hari justru kita harus dituntut semakin baik dalam memberikan edukasi, kemudian juga bagi mereka yang sudah terkena kita lebih baik dalam memberikan pelayanan, dan juga bagaimana kita mencegah untuk jangka panjang,” ujarnya.
Peran Penting Regulasi
Selain kurangnya kesadaran individu, Wayan juga menyoroti perlunya peningkatan kebijakan pemerintah dalam upaya pencegahan penyakit ginjal. Menurutnya, langkah-langkah strategis seperti pemeriksaan dini hingga perbaikan sistem penanganan perlu dimaksimalkan guna mengurangi prevalensi penyakit ini di masa depan.
Lebih lanjut, Wayan mengungkapkan bahwa ada dua faktor utama yang berkaitan dengan gagal ginjal, yakni faktor yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Faktor yang tidak bisa dimodifikasi meliputi aspek genetik serta usia seseorang.
“Tetapi di satu sisi ada lagi faktor-faktor yang bisa kita modifikasi. Ini misalnya yang pertama tekanan darah, hipertensi. Kita sesuaikan kenapa ya, nanti misalnya diabetes, gula darah itu bisa kita modifikasi,” katanya.
Selain itu, gaya hidup yang kurang sehat seperti kebiasaan merokok, konsumsi obat-obatan tertentu tanpa pengawasan, serta pola makan dan minuman yang berdampak buruk terhadap ginjal juga menjadi faktor yang dapat dikendalikan.
Gejala dan Pentingnya Skrining
Penyakit ginjal sering kali tidak menunjukkan tanda-tanda di tahap awal, sehingga banyak penderita baru menyadari kondisi mereka ketika sudah dalam keadaan kritis. Namun, ada beberapa indikasi yang bisa diperhatikan sejak dini, seperti pembengkakan, tubuh terasa lemas, serta berkurangnya jumlah urine yang dikeluarkan.
“Pada stadium lanjut, mual-mual, muntah-muntah. Kemudian, gatal-gatal seluruh tubuh. Dan itu beda dengan gatal-gatal yang kita ketahui pada penyakit kulit biasa, dan biasanya itu tidak akan membaik dengan dikasih obat-obat biasa,” katanya.
Salah satu cara utama untuk mengetahui risiko penyakit ginjal lebih awal adalah melalui skrining kesehatan. Pemeriksaan ini bertujuan mendeteksi kemungkinan gangguan ginjal sebelum gejala klinis muncul. Salah satu indikator yang diperiksa adalah kandungan proteinuria dalam urine, yang menunjukkan adanya protein berlebih yang seharusnya tidak terdapat dalam urin sehat.
“Kemudian, sering kita temukan juga ada hematuria. Namanya istilah hematuria itu mengandung arti adanya, lolosnya sel darah merah,” katanya.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan disarankan dilakukan setidaknya setahun sekali bagi individu yang memiliki faktor risiko, serta setiap 2-3 tahun bagi mereka yang tidak memiliki faktor risiko.
“Kemudian pemeriksaan berikutnya bagaimana kalau ditemukan ternyata ada masalah ginjal? Nah, itu kita sesuaikan dengan saat yang tadi ya. Mereka yang apakah faktor risikonya ternyata yang masih rendah, sedang, ataupun tinggi. Yang rendah mungkin bisa tiap tiga bulan sekali. Yang risikonya sedang ataupun tinggi mungkin tiap bulan,” Wayan melanjutkan.
Dengan meningkatnya angka penderita ginjal di Indonesia, langkah pencegahan seperti edukasi masyarakat, optimalisasi regulasi, serta deteksi dini menjadi kunci utama dalam menekan jumlah kasus dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.