Awan mendung kembali menggantung di langit diplomasi perdagangan antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China. Hubungan bilateral yang sejak lama diwarnai pasang surut kini memasuki fase paling membara, ibarat bara api yang tersulut bensin. Adu penalti tarif antar kedua negara pun tak terelakkan.
Langkah paling mutakhir datang dari Beijing yang mengambil sikap tegas dengan menaikkan bea masuk atas barang-barang dari Amerika Serikat menjadi 125% pada Jumat (11/4/2025). Kebijakan ini efektif diterapkan mulai Sabtu, 12 April 2025, sebagai reaksi keras atas langkah Washington yang lebih dulu menggertak dengan kenaikan tarif terhadap barang asal China hingga menyentuh angka fantastis: 145%.
Mengutip laporan CNBC, berikut deretan peristiwa penting yang menjadi rangkaian eskalasi perang tarif antara AS dan China:
20 Januari 2025
Presiden Donald Trump resmi menandatangani kebijakan America First sebagai pijakan utama strategi perdagangannya. Dalam kebijakan ini, Trump menginstruksikan penyelidikan terhadap neraca perdagangan Amerika yang terus mengalami defisit, serta mendorong pengenaan tarif tambahan secara global sebagai langkah korektif.
1 Februari 2025
Sebuah perintah eksekutif diteken Trump, yang memberlakukan bea masuk sebesar 10% atas produk China. Langkah ini dimaksudkan sebagai upaya memberantas masuknya zat-zat terlarang seperti fentanil dari Negeri Tirai Bambu. Selain itu, kebijakan ini menghapuskan pengecualian de minimis—yang sebelumnya membebaskan paket bernilai di bawah US$800 dari kewajiban pemeriksaan dan bea masuk.
4 Februari 2025
Bea masuk 10% atas produk China resmi diterapkan. China tak tinggal diam. Negeri pimpinan Xi Jinping membalas dengan mengenakan bea atas barang-barang asal AS, sembari mengatur ketat ekspor logam tanah jarang—bahan penting dalam berbagai sektor seperti teknologi, energi hijau, hingga industri kedirgantaraan.
7 Februari 2025
Trump menghentikan sementara pencabutan pengecualian de minimis.
10 Februari 2025
Gedung Putih kembali menebar guncangan dengan mengumumkan bea masuk 25% untuk baja dan aluminium dari seluruh dunia tanpa pandang bulu. Di saat yang sama, China mulai memberlakukan balasan berupa tarif ad valorem 25% untuk semua baja yang masuk AS dan meningkatkan tarif aluminium dari 10% menjadi 25%.
13 Februari 2025
Trump menandatangani strategi tarif timbal balik yang diberi nama “Rencana Adil dan Timbal Balik”. Rencana ini bertujuan untuk meninjau hubungan perdagangan yang tidak simetris antara AS dan mitra-mitranya—mulai dari pajak yang bersifat diskriminatif hingga kebijakan moneter yang dianggap mengganggu keseimbangan nilai tukar.
21 Februari 2025
Trump mengesahkan memorandum untuk membatasi keterlibatan modal China dalam sektor-sektor vital AS seperti teknologi, kesehatan, pertanian, dan energi. Kebijakan ini digerakkan dengan dalih menjaga keamanan nasional.
3 Maret 2025
Pemerintah AS kembali menaikkan bea atas barang-barang China menjadi 20%. Keesokan harinya, China membalas dengan tarif tinggi terhadap produk-produk agrikultur AS seperti ayam, jagung, kedelai, hingga buah-buahan dan susu.
26 Maret 2025
Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer melakukan panggilan virtual dengan Wakil Perdana Menteri China, He Lifeng. Meski keduanya menyatakan niat untuk menjalin kesepakatan dagang, tak ada sinyal konkrit bahwa perundingan telah dimulai. Di waktu yang sama, Trump meluncurkan tarif 25% atas kendaraan dan suku cadang dari seluruh dunia—mulai dari mesin mobil hingga komponen elektronik.
2 April 2025
Trump mengenakan tarif timbal balik 34% terhadap China, sebagai pelengkap dari tarif 20% yang sudah lebih dulu diberlakukan. Ini menjadikan total tarif mencapai 54%. Tak hanya itu, bea minimum universal sebesar 10% diberlakukan untuk seluruh barang masuk.
Pengecualian de minimis resmi ditiadakan. Semua paket dari China daratan dan Hong Kong senilai di bawah US$800 akan dikenakan bea masuk sebesar 30% atau minimal US$25 per barang mulai 2 Mei—dan meningkat jadi US$50 per barang pada 1 Juni.
3 April 2025
Trump mengumumkan “Hari Pembebasan Tarif” dengan menerapkan tarif tambahan 34% untuk semua barang asal China, yang akan berlaku mulai 9 April. Di hari itu pula, bea 25% untuk mobil impor resmi dijalankan.
4 April 2025
China tak tinggal diam. Negeri itu membalas dengan mengenakan bea masuk 34% terhadap produk AS, serta menerapkan pembatasan atas ekspor tujuh jenis logam tanah jarang. Hampir 30 perusahaan asal AS juga dijatuhi sanksi oleh Beijing.
5–9 April 2025
Tarif universal AS sebesar 10% mulai diberlakukan. Trump lalu meningkatkan tarif timbal balik untuk China menjadi 84%, serta mengerek bea minimum de minimis menjadi 90%, dengan biaya per barang naik menjadi US$75 mulai 1 Mei dan US$150 mulai 1 Juni.
Pada 9 April, tambahan bea masuk 84% resmi diberlakukan terhadap barang-barang dari China. Imbasnya, total tarif dari AS terhadap China menembus 104%. Di hari yang sama, Trump mengumumkan tarif timbal balik baru sebesar 125% yang segera berlaku, sembari memberi jeda 90 hari bagi negara lain.
10–11 April 2025
China mulai menerapkan tarif 84% terhadap produk AS. Gedung Putih lalu menegaskan bahwa tarif 125% tersebut akan menjadi tambahan dari tarif 20% yang sudah lebih dahulu dikenakan, sehingga total bea masuk menjadi 145%.
Puncaknya, pada 11 April 2025, Beijing kembali menaikkan tarif hingga mencapai 125% terhadap produk AS. Langkah ini berlaku efektif mulai 12 April. Dalam pernyataan resminya, pemerintah China menyebut bahwa mereka tidak akan lagi merespons provokasi tarif lebih lanjut dari Amerika Serikat.
Jika tren ini berlanjut tanpa kompromi, maka bukan tak mungkin dunia akan menyaksikan babak baru dalam konfrontasi dagang—bukan sekadar saling adu tarif, tapi juga pertaruhan dominasi ekonomi global.
Perang tarif kini ibarat catur berdarah, di mana setiap langkah bukan hanya mengorbankan pion-pion ekonomi, tapi juga merobek kepercayaan pasar internasional.