Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan bahwa apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjadi akibat meningkatnya keyakinan pasar finansial di kawasan Asia terhadap langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Tiongkok dalam melonggarkan kebijakan demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Penguatan mata uang Asia tersebut disebabkan oleh optimisme pasar keuangan Asia terhadap pernyataan pemerintah Tiongkok yang mendukung pelonggaran kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.
Selain itu, tren penguatan mata uang Asia juga ditopang oleh ekspektasi pasar terkait kemungkinan kebijakan pemangkasan suku bunga yang lebih agresif oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed).
Penurunan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 1-2 basis poin (bps) pada Rabu (6/3) turut mencerminkan meningkatnya minat terhadap aset berisiko, seiring dengan apresiasi kurs rupiah yang terus berlanjut.
Sementara itu, aktivitas transaksi di pasar obligasi negara mencatatkan volume perdagangan sebesar Rp33,78 triliun, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan volume perdagangan pada Selasa (4/3) yang sebesar Rp22,27 triliun.
Namun, kepemilikan investor asing dalam obligasi berdenominasi rupiah mengalami penyusutan sebesar Rp2,27 triliun sehingga total kepemilikan mereka menjadi Rp886 triliun, atau setara dengan 14,32 persen dari keseluruhan surat utang yang beredar. Tingkat imbal hasil SBN untuk tenor 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun, dan 20 tahun masing-masing berada di level 6,62 persen, 6,86 persen, 7,01 persen, dan 7,01 persen.
“Hari ini, rupiah diperkirakan diperdagangkan dalam kisaran Rp16.225 – 16.350 per dolar AS,” ungkap Josua.
Pada awal sesi perdagangan Kamis pagi di Jakarta, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami kenaikan sebesar 17 poin atau 0,10 persen ke posisi Rp16.296 per dolar AS, dibandingkan dengan penutupan sebelumnya yang berada di level Rp16.313 per dolar AS.