Tragedi Senyap di Perkebunan Sawit, Ancaman Agrokimia yang Mengintai Buruh Perempuan

Rohmat

Buruh perempuan di perkebunan kelapa sawit terus menghadapi kenyataan pahit. Selain harus bekerja dalam kondisi minim fasilitas, mereka juga berada di bawah bayang-bayang ancaman kontaminasi zat beracun dari bahan kimia pertanian yang digunakan dalam industri perkebunan. Paparan tanpa batas dan perlindungan yang lemah dapat berujung pada dampak kesehatan yang serius.

Jenis Bahan Kimia yang Berbahaya

Menurut penelitian yang dilakukan oleh International Palm Oil Workers United (IPOWU) pada tahun 2024, perkebunan kelapa sawit di Indonesia memanfaatkan 39 jenis bahan kimia pertanian. Zat-zat tersebut meliputi herbisida, insektisida, fungisida, pupuk, hormon tanaman seperti asam α-naftalenasetat (NAA), serta adjuvant—bahan tambahan dalam campuran semprot guna meningkatkan efektivitas pestisida.

Di dalam insektisida terkandung Beta-cylfuthrin, sementara pupuk mengandung seng fosfida. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengategorikan kedua bahan ini sebagai senyawa berbahaya yang berpotensi menyebabkan kanker. Selain itu, pestisida juga mengandung dikofol, suatu zat yang penggunaannya telah dibatasi di Uni Eropa karena dampak buruknya terhadap kesehatan dan lingkungan.

Buruh Perempuan di Garis Depan Risiko

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengungkapkan bahwa buruh perempuan sering kali berhadapan langsung dengan bahan kimia saat mereka membuka wadah, mencampur dan mengaplikasikan larutan, serta membersihkan peralatan. Selain itu, mereka juga bertugas membuang kemasan kosong yang sebelumnya berisi bahan beracun tersebut.

IPOWU mengkaji kondisi 549 buruh di 13 perkebunan sawit yang tersebar di Kalimantan dan Sumatera. Hasilnya mengungkap bahwa 58% buruh mengalami paparan bahan kimia, baik secara langsung maupun tidak langsung akibat kontaminasi lingkungan sekitar.

Dampak Langsung Terhadap Kesehatan

Gejala yang paling umum dirasakan adalah pusing dan sakit kepala. Selain itu, banyak pekerja mengalami iritasi kulit, demam, serta gangguan pada mata. Salah satunya adalah Yublina Yuliana, seorang buruh perkebunan sawit di Sanggau, Kalimantan Barat. Dia mengungkapkan bahwa dirinya sering mengalami gatal-gatal, iritasi kulit, sesak napas, hingga pusing.

“Itu ya sudah biasa dialami ketika kami mengaplikasikan pupuk pada proses pembibitan,” katanya kepada Mongabay, Februari lalu.

Yublina bekerja selama tujuh jam sehari, menangani pupuk, bibit, serta menyemprotkan pestisida. Beberapa rekannya bahkan mengalami sesak napas parah akibat paparan agrokimia dan harus mendapat perawatan di Puskesmas.

“Saat ini, ibu itu dipindahkan kerjanya ke bidang yang tidak bersentuhan langsung dengan bahan kimia,” ujar perempuan yang telah 13 tahun bekerja sebagai buruh sawit itu.

Gangguan Reproduksi dan Penyakit Kronis

Dampak dari bahan kimia ini juga menjalar hingga ke kesehatan reproduksi. Yublina sering mengalami menstruasi berkepanjangan, sementara buruh lainnya mengalami siklus haid yang tidak teratur.

“Menstruasinya tidak berhenti-berhenti itu biasa. Terkadang juga ada yang tidak menstruasi, karena saking mengalami kelelahan akhirnya menstruasi tidak lancar.”

Debora Simanullang, buruh perempuan di perkebunan sawit Kotabaru, Kalimantan Selatan, juga merasakan hal serupa. Ia bertugas mencampurkan bahan kimia setiap pagi sebelum menyerahkannya kepada rekan-rekannya yang bertugas menyemprotkan pestisida.

Setiap harinya, Debora mengecek persediaan dan pemakaian bahan kimia. Akibat pekerjaannya, ia kerap mengalami pusing, sesak napas, dan iritasi mata. Pernah suatu kali, ia membersihkan bahan kimia yang tumpah dengan tangan kosong.

“Gatal tangan saya. Rasanya panas gitu,” ungkapnya.

Debora bahkan sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu akibat mual dan sakit tenggorokan. Pada tahun 2024, ia harus menjalani operasi pengangkatan empedu setelah dokter menyatakan bahwa kontaminasi bahan kimia bisa jadi salah satu pemicunya.

“Kata dokter itu, pengaruh makanan. Ibu selama ini secara tidak sadar habis pegang bahan kimia, langsung pegang makanan dan masuk ke mulut,” kata Debora menirukan penjelasan dokter.

Salah satu rekannya mengalami gangguan penglihatan akibat terkena percikan bahan kimia, hingga harus menjalani perawatan beberapa minggu di rumah sakit.

“Tahun 2024, dia lagi mengaduk paraquat yang kuning itu (jenis kimia), terciprat ke matanya, langsung tiba-tiba perih dan merah gitu. Langsung mata kabur dan berair.”

Risiko Jangka Panjang: Kemandulan dan Kecacatan Janin

Wendri Wildiartoni Pelupessy, Ahli Higiene Industri dan Kesehatan Kerja, mengingatkan bahwa paparan agrokimia dalam jangka panjang dapat merusak sistem reproduksi pekerja.

“Laki-laki bisa mandul. Spermanya keluar tapi benih-benihnya mati semua. Ibu-ibu sel telurnya kopong semua,” katanya dalam dialog nasional di Jakarta.

Selain itu, paparan zat beracun ini juga meningkatkan risiko kecacatan janin dalam kandungan. Semakin sering buruh terpapar bahan kimia, semakin tinggi kemungkinan gangguan kesehatan pada keturunan mereka di masa depan.

Kesimpulan

Buruh perempuan di perkebunan sawit menghadapi risiko kesehatan yang serius akibat paparan bahan kimia berbahaya yang digunakan dalam industri ini. Dengan minimnya perlindungan dan regulasi yang ketat, dampak jangka pendek maupun jangka panjang semakin mengancam kesejahteraan mereka. Mulai dari gangguan pernapasan, iritasi kulit, hingga gangguan reproduksi, risiko ini harus mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun pemilik industri perkebunan. Langkah konkret dalam meningkatkan perlindungan buruh dari paparan bahan kimia harus segera diambil demi kesehatan dan masa depan mereka.

Also Read

Tags

Leave a Comment